Berbagi kebahagiaan tidak hanya bisa
dilakukan oleh yang sempurna. Bahkan, orang yang cacat sekalipun bisa
membahagiakan orang lain. Kadangkala, orang yang sempurna sering melupakan dan
tidak bisa berbagi kebahagiaan bersama sesama, sedangkan yang cacat dalam arti
fisik tidak menjauhkan diri dari ini.
Awalnya mungkin kita kehilangan
pegangan. Merasa tidak berguna, dan ingin pergi sajadari semuanya. Tapi ingatlah!
Masih banyak yang menyayangi kita sob! Masih banyak yang membutuhkan
pertolongan kita, dan masih banyak orang yang bisa kita bahagiakan. Meskipun cacat,
tidak berarti berhenti untuk berbagikan?
Ia adalah laki-laki penyandang tuna
netra. Ia kehilangan penglihatannya saat kuliah Di ITB, kala itu dia mendapat
PMDK untuk bisa berkuliah di sana. Gluochoma menjadi sebuah ganjaran karier
pendidikannya untuk mengenyam sekolah lebih lanjut.
Dia putus kuliah karena kehilangan penglihatannya tersebut. Kemudian selama kurun waktu kurang lebih 1,5 tahun dia berada dalam kegelapan tiada henti merasa tak berguna dan pernah berkehendak untuk bunuh diri.
Dia putus kuliah karena kehilangan penglihatannya tersebut. Kemudian selama kurun waktu kurang lebih 1,5 tahun dia berada dalam kegelapan tiada henti merasa tak berguna dan pernah berkehendak untuk bunuh diri.
Namun, ternyata cerita berubah
drastis kala dia dititipkan bundanya menuju rumah pakdenya yang merupakan
seorang dosen di sebuah universitas negeri ternama di Kota Yogyakarta. Di sanalah
dia menenmukan hidupnya, hanya dengan sebuah kebiasaan yang sengaja diterapkan
dari pakdenya kepada dirinya, yaitu wajib sholat subuh berjamaah di masjid,
kemudian setelah itu mencuci mobil yang dimiliki oleh pakdenya. Suatu pagi saat
dia mencuci ternyata ada seseorang yang mengamati kebiasaan laki-laki tersebut dan
akhirnya terlibat sebuah percakapan di antara keduanya.
“Mas, Anda itu buta tapi tetap
semangat Ibadah dan bekerja Anda luar biasa”. Ternyata dari percakapan ringan
dan singkat tersebut muncul sebuah insight, sebuah hidayah, sebuah
pencerahan yang diberikan Allah padanya.
Sejak saat itu, dia mulai
bersemangat dan menghentikan kegalauannya. Ia merasa bahwa meskipun dia cacat,
itu bukan berarti dia tidak berguna. Seperti mentimun bungkuk, misalnya? Dia tidak
akan dibuang! Dia masih bisa bermanfaat untuk orang lain. Akhirnya, dia
memutuskan untuk kembali kuliah dan pindah hidup mandiri di sebuah pondok di
Yogyakarta.
Saat itulah ia manjadi pribadi yang
luar biasa, seseorang pemberi semangat dengan khotbah-khotbahnya yang simple
namun dasyat mampu mengubah mindset anak-anak panti tuna netra menjadi
lebih semangat. Dia pernah memberikan petuah “cacing itu buta, gak punya kaki,
gak punya tangan. Tapi karena cacing itulah kesejukan dunia terjaga, kehidupan
begitu indah karena dia menyuburkan pepohonan, menjadikan tanaman hidup dan
akhirnya hijau di bumi menjadi sebuah lambang kehidupan.”
[Disadur dari sosbud.kompasiana.com]
0 komentar:
Posting Komentar