Alkisah, ada seorang ibu setengah
baya yang sehari-harinya berjualan tempe buatan sendiri di desanya. Suatu hari,
seperti biasanya, pada saat ia akan pergi ke pasar untuk menjual tempe.
Ternyata pagi itu, tempe yang terbuat dari kacang kedelai masih setengah jadi.
Ibu ini sangat sedih hatinya. Sebab,
jika tempe tersebut tidak jadi, berarti ia tidak akan mendapatkan uang karena
tempe yang belum jadi tentunya tidak laku dijual. Padahal, satu-satunya mata
pencaharian ibu hanyalah dari menjual tempe.
Dalam suasana hatinya yang sedih, si
ibu yang memang aktif beribadah teringat akan Tuhan yang menyatakan bahwa Tuhan
dapat melakukan perkara-perkara ajaib; bahwa bagi Tuhan tiada yang mustahil.
Lalu, ia pun menumpangkan tangannya di atas tumpukan beberapa batangan kedelai
yang masih dibungkus sengandaun pisang tersebut. “Tuhan, aku mohon kepada-Mu
agar kedelai ini menjadi tempe. Amin.” Demikian do’a singkat si ibu yang
dipanjatkannya dengan sepenuh hati. Ia yakin dan percaya pasti Tuhan menjawab do’anya.
Lalu, dengan tenang ia menekan-nekan
bungkusan bakal tempe tersebut dengan ujung jarinya. Dengan hati yang
deg-degan, ia membuka sedikit bungkusannya untuk melihat mukjizat kedelai jadi
tempe terjadi. Namun, apa yang terjadi? Dengan kaget, ia mendapati bahwa
kedelai tersebut masih tetap kedelai. Si ibu tidak kecewa. Ia berpikir bahwa
mungkin do’anya kurang jelas didengar Tuhan. Lalu kembali ia menumpangkan
tangan diatas batangan kedelai tersebut.
“Tuhanm aku tahu bahwa bagi-Mu tiada
yang mustahil. Tolonglah aku supaya hari ini aku bias berdagang tempe karena
itulah mata pencaharianku. Aku mohon jadilah ini tempe. Amin.”
Dengan iman, ia pun kembali membuka
sedikit bungkusan tersebut. Lalu apa yang terjadi? Dengan kaget, ia melihat
bahwa kacang kedelai tersebut masih tetap begitu. Sementara hari semakin siang
dimana pasar tentunya akan semakin ramai. Si ibu dengan merasa tidak kecewa
atas do’anya yang belum terkabul, merasa bahwa bagaimana pun sebagai langkah
iman ia akan tetap pergi ke pasar membawa keranjang berisi barang dagangannya
itu. Ia berpikir mungkin mukjizat Tuhan akan terjadi di tengah perjalanan ia
pergi ke pasar. Lalu, ibu itu pun bersiap-siap untuk berangkat ke pasar. Semua
keperluannya untuk berjualan tempe seperti biasanya sudah disiapkannya.
Sebelum beranjak dari rumahnya, ia
sempatkan untuk menumpangkan tangan sekali lagi. “Tuhan, aku percaya Engkau
akan mengabulkan do’aku. Sementara aku berjalan menuju pasar, Engkau akan
mengadakan mukjizat buatku. Amin.”
Lalu, ia pun berangkat. Disepanjang perjalanan,
ia tidak henti-hentinya berdo’a. tidak lama kemudian, sampailah ia di pasar. Dan,
seperti biasanya ia mengambil tempat untuk menggelar barang dagangannya. Ia yakin
bahwa tempenya sekarang pasti sudah jadi. Lalu ia pun membuka keranjangnya dan
pelan-pelan menekan-tekan dengan jarinya setiap bungkusan yang ada. Perlahan ia
membuka sedikit daun pembungkusnya dan melihat isinya. Apa yang terjadi? Ternyata,
tempenya benar-benar belum jadi.
Si ibu menelan ludahnya. Ia tarik
napas dalam-dalam. Ia mulai kecewa kepada Tuhan karena do’anya tidak
dikabulkan. Ia merasa Tuhan tidak adil. Tuhan tidak kasihan kepadanya. Padahal,
ia hidup hanya mengandalkan hasil menjual tempe saja. Selanjutnya, ia hanya
duduk tanpa menggelar dagangannya karena ia tahu bahwa mana ada orang mau
membeli tempe yang masih setengah jadi, sementara hari semakin siang dan pasar sudah
mulai sepi pembeli.
Ia melihat dagangan teman-temannya sesame
penjual tempe sudah hamper habis. Rata-rata tinggal sedikit lagi tersisa. Si ibu
tertunduk lesu. Ia seperti tidak sanggup menghadapi kenyataan hidupnya hari
itu. Ia hanya bias termenung dengan rasa kecewa yang dalam. Yang ia tahu bahwa
hari itu ia tidak akan mengantongiuang sepeser pun.
Tiba-tiba, ia dikejutkan dengan
sapaan seorang wanita. “Bu, maaf ya, saya mau Tanya. Apakah Ibu menjual tempe
yang belum jadi? Soalnya dari tadi saya sudah keliling pasar mencarinya, tapi
belum juga menemukannya.”
Seketika ibu tadi terperangah. Ia kaget.
Sebelum ia menjawab sapaan wanita di depannya itu, dalam hati cepat-cepat ia
berdo’a. “Tuhan, saat ini aku tidak butuh tempe lagi. Aku tidak butuh lagi. Biarkanlah
daganganku ini tetap seperti semula. Amin.” Tapi, ia tidak berani menjawab
wanita itu. Ia berpikir jangan-jangan selagi ia duduk-duduk termenung tadi,
tempenya sudah jadi. Karena itu, ia sendiri saat itu dalam posisi ragu-ragu
untuk menjawab.
“Bagaimana nih?” Ia berpikir. “Kalau
aku katakana iya, jangan-jangan tempenya sudah jadi. Siapa tahu tadi sudah jadi
mukjizat Tuhan?”
Ia kembali berdo’a dalam hatinya, “Ya
Tuhan, biarlah tempeku tidak usah jadi tempe. Sudah ada orang yang kelihatannya
mau beli. Tuhan, tolonglah aku kali ini. Tuhan, dengarkanlah do’aku ini,”ujarnya
berkali-kali.
Lalu, sebelum menjawab, ia pun
membuka sedikit daun penutupnya. Lalu, apa yang dilihatnya? Ternyata, memang
benar tempenya belum jadi. Ia bersorak senang dalam hatinya. Singkat cerita,
wanita tersebut memborong semua dagangan si ibu.
Sebelum wanita itu pergi, ia
panasaran kenapa ada orang yang mau beli tempe yang belum jadi. Wanita itu
mengatakan bahwa anaknya di Yogya mau tempe yang berasal dari desa itu. Berhubung
tempenya akan dikirim ke Yogya, jadi ia harus membeli tempe yang belum jadi,
agar setibanya di sana tempenya sudah jadi.
Apa yang bias kita simpulkan dari
kisah sederhana di atas? Pertama, kita sering memaksakan kehendak kita kepada Tuhan pada waktu kita berdo’a,
padahal sebenarnya Tuhan lebih mengetahui apa yang kita perlukan. Kedua, Tuhan
menolong kita dengan cara-Nya yang sama sekali diluar perkiraan kita
sebelumnya. Ketiga, tiada yang mustahil bagi Tuhan. Keempat,
percayalah bahwa Tuhan akan menjawab do’a kita sesuai dengan rancangan-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar