Seorang pawang membawa gajahnya ke sebuah pameran di negeri yang belum pernah melihat gajah.
Gajah itu kemudian ditempatkan di sebuah ruangan gelap. Dalam kegelapan itu, para pengunjung diizinkan untuk mendekati gajah dan menyentuhnya.
Seketika itu juga, gajah tersebut dikelilingi para pengunjung hingga tidak ada sama sekali ruang untuk mengelilingi gajah tersebut. Masing-masing pengunjung hanya bisa menyentuh gajah tersebut dari tempatnya masing-masing.
Salah satu pengunjung berkomentar saat memegang belalai gajah tersebut, :Oh gajah ini ternyata seperti pipa air."
Lain lagi halnya bagi orang yang menyentuhkupingnya, "Gajah itu seperti kipas." Namun, bagi orang yang menyentuh kakinya, komentarnya lain juga, "Tidak, gajah itu seperti tiang."
"Oh, tidak, gajah itu seperti tahta seorang raja," ujar orang yang menyentuh punggungnya.
Kesimpulan dari setiap masing-masing yang menyentuhnya lain-lain. Mereka tampaknya berbeda pendapat perihal gajah. Padahal, perbedaan yang mereka ributkan hanya satu hal, yaitu tentang ciri-ciri gajah. Karena kegelapan, mereka menjadi seperti itu. Kegelapan menimbulkan ketidaktahuan. Ketidaktahuan membawa ketidaksadaran. Mereka lupa bahwa mereka berpendapat dalam kegelapan. Jadi, sifat pendapat mereka hanyalah praduga. Andai saja mereka mengedepankan kerjasama bukan ego, tentu mereka akan mendapatkan pengetahuan tentang gajah lengkap dan konprehensif.
Begitulah bahayanya jika seseorang berpendapat sesuatu dalam "kegelapan". Mereka membutuhkan "cahaya" sebelum mereka berpendapat. Namun, jika tidak ada "cahaya", maka mereka harus sering kerjasama dan tukar informasi atas apa yang mereka sentuh dalam "kegelapan" tadi. Tentu, hasilnya akan sama-sama memuaskan dan mendapatkan kebenaran dari setiap masing-masing orang.
0 komentar:
Posting Komentar