"Tidak, kita tidak miskin, Aiko."
"Apakah kemiskinan itu?"
"Miskin berarti tidak mempunyai sesuatu apapun untuk diberikan kepada orang lain."
"Tapi, kita memerlukan semua barang yang kita punyai. Apakah yang dapat kita berikan?"
"Kau ingatkah perempuan pedagang keliling yang kesini minggu lalu? Kita memberikannya sebagian dari makanan kita kepadanya. Karena ia tidak mendapat tempat menginap di kota, ia kembali kesini dan kita memberinya tempat tidur. Kita menjadi bersempit-sempitan. Kita pun sering memberikan sebagian sayuran kita kepada keluarga Watari, bukan?"
"Ibulah yang memberikannya. Hanya saya sendiri yang miskin. Saya tak punya apa-apa untuk saya berikan kepada orang lain."
"Oh, kau punya. Setiap orang mempunyai sesuatu untuk diberikan kepada orang lain. Pikirkanlah hal itu dan kau akan menemukan sesuatu."
"Bu! Saya mempunyai sesuatu untuk diberikan. Saya dapat memberikan cerita-cerita saya kepada teman-teman saya. Saya dapat memberikan kepada mereka cerita-cerita dongeng yang saya dengar dan baca di sekolah."
"Tentu! Kau pintar bercerita. Bapakmu juga. Setiap orang senang mendengar cerita."
"Saya akan memberikan cerita kepada mereka, sekarang ini juga!"
Tampaknya yang perlu ditanyakan bukanlah "Apakah saya punya?" karena kita pasti mempunyai sesuatu, melainkan "Apakah yang saya punya?" yang bisa diberikan, seperti waktu, perhatian, cerita, tenaga, makanan, tumpangan, uang, dan lain sebagainya.
Pertanyaannya bukanlah "Seberapa saya punya?" karena kekayaan sejati lebih ditentukan oleh "Seberapa saya memberi?"
0 komentar:
Posting Komentar